01 Mei 2014

Nuna, You’re So Beautiful

0 komentar
Nuna, You’re So Beautiful
by Halona Mio



Nuna1jadilah pacarku!” teriak seorang cowok dengan lantang.
Han Se Kyung terkejut mendengar pernyataan cowok yang sekarang berdiri persis di hadapannya. Ia merasa bingung dan menoleh ke belakang, mencoba mencari bantuan pada teman-teman sekelasnya. Namun, sepertinya tak ada seorangpun yang tahu darimana asal muasal cowok itu.
“Apa kamu nggak salah orang?” tanya Se Kyung dengan ragu. Tapi cowok itu menggeleng, ia kelihatan begitu yakin kalau ia tidak salah orang.
“Tapi aku nggak merasa kenal sama kamu,” kata Se Kyung dengan suara yang hanya terdengar seperti bisikan. Ia sadar betul kalau teman-teman sekelasnya masih mengawasi mereka berdua.
Nuna1 akan mengenalku dengan baik  kalau mau jadi pacarku,” katanya sambil tersenyum menggoda.
“Kamu ini sebenarnya siapa? Apa kamu mau main-main sama aku?” tanya Se Kyung mulai was-was.
Cowok itu hanya tersenyum, ”Nuna1 akan mengetahuinya setelah memberikan jawaban padaku. Aku pergi dulu,” katanya tersenyum sambil melambaikan tangan, kemudian melangkah ke luar meninggalkan kelas Se Kyung.
Teman-teman Se Kyung terutama yang cewek, mulai mendekatinya dan mengajukan rentetan pertanyaan mulai dari, “Siapa cowok tadi?”, “ Imut banget deh, kamu kenal dimana?”, “Duh cakepnya, kamu beruntung”, “Apa kamu bakal nerima dia?”, dan beragam pertanyaan lainnya.
“Ah, molla2! teriak Se Kyung mulai merasa terganggu. Ia hanya mendesah, kemudian terdiam dengan tatapan kosong.
Tak berapa lama, salah satu teman dekat Se Kyung yang bernama Mi Ran tiba-tiba datang memberi informasi, ”Aku baru saja cari tahu soal cowok itu. Dia Kang Kyong Jun, anak baru yang dua tingkat di bawah kita.”
“Ah, adik kelas. Pantas saja dia memanggilku Nuna1. Tapi darimana dia mengenalku?” batin Se kyung dalam hati. Kemudian tanpa meminta persetujuan Se Kyung, tiba-tiba Mi Ran menyeret tangannya untuk menunjukkan dimana kelas Kyong Jun. Se Kyung dengan pasrah diseret begitu saja oleh Mi Ran yang kelihatan begitu bersemangat.
Dari jendela kaca di kelas Kyong Jun, Se kyung dapat melihat Kyong Jun sedang duduk dan mengobrol akrab dengan teman-temannya. Se Kyung merasa cowok itu gampang dekat dengan siapapun yang baru dikenalnya. Tiba-tiba Kyong Jun melihat kearah Se Kyung dan menyadari kalau Se Kyung mengawasinya. Ia tersenyum dan melambaikan tangannya sambil memanggilnya dengan keras “Nuna1”. Otomatis teman-temannya langsung melihat ke arah Se Kyung, membuat Se Kyung malu dan segera angkat kaki dari tempat itu.
~o0O0o~
Se Kyung duduk di halte bis sambil melamun. Begitu bis datang, ia langsung menaiki bis itu kemudian duduk di dekat jendela. Tiba-tiba ada cowok yang duduk di sampingya dan mengajaknya bicara.
“Nuna, kenapa kamu nggak pergi sama teman-temanmu tadi?” tanya cowok itu yang ternyata adalah Kang Kyong Jun. Entah bagaimana, Kyong Jun bisa tahu kalau tadi Se Kyung menolak ajakan teman-temannya untuk nongkrong di kafe meskipun besok hari libur. Akhir-akhir ini Se Kyung memang selalu menolak ajakan teman-temannya dan lebih memilih tinggal di rumah saja.
“Apa kau mengikutiku dari tadi?” tanya Se Kyung mulai curiga.
“Iya,” kata Kyong Jun dengan senyum polos tersungging di bibirnya.
“Apa sebenarnya maumu?” tanya Se Kyung mulai hilang kesabaran.
Nuna1 belum kasih aku jawaban,” kata Kyong Jun lagi sambil tersenyum.
Se Kyung mulai hilang kesabaran menghadapi Kyong Jun. Ia memutuskan untuk tidak mempedulikan Kyong Jun. Ia mendiamkan Kyong Jun di sepanjang perjalanan, hingga tanpa sadar ia tertidur.
Nuna1, bangun kita sudah sampai,” Se Kyung tersentak bangun begitu  merasakan seseorang menepuk pundaknya dengan lembut. Ia melihat Kyong Jun masih duduk di sampingnya. Se Kyung buru-buru beranjak turun dari bis karena bis akan segera berjalan lagi, tapi Kyong Jun mengikutinya dibelakang.
“Tunggu Nuna,” teriak Kyong Jun berlari menyusul Se Kyung yang turun dari bis terlebih dahulu dan langsung pergi meninggalkannya.
“Apa? Kamu masih pengen ngikutin aku?” tanya Se Kyung dengan kesal.
“Aku takut Nuna1 ketiduran sambil berdiri, tadi waktu di dalam bis tidurmu nyenyak sekali sampai mendengkur keras,” kata Kyong Jun tertawa geli.
“Bohong. Aku tidak pernah mendengkur,” kata Se Kyung dengan panik, mencoba mengelak. “Tunggu, bagaimana kamu bisa tahu aku mesti turun dimana. Jangan-jangan kamu pernah ngikutin aku sebelumnya?” tanya Se Kyung mencoba mengalihkan pembicaraan untuk menutupi perasaan malunya.
“Iya benar, “ kata Kyong Jun sambil tersenyum tanpa  dosa.
“Kenapa?” tanya Se Kyung untuk kesekian kalinya.
“Aku tidak akan menjawabnya sebelum Nuna1 bersedia jadi pacarku,” kata Kyong Jun menggoda Se Kyung.
“Aku akan teriak kalau kamu terus mengikutiku,” ancam  Se Kyung.
“Silahkan,” kata Kyong Jun menantang.
Se Kyung merasa kesal karena ancamannya tidak berhasil membuat Kyong Jun berhenti mengikutinya. Ia berjalan dengan cepat tanpa mempedulikan Kyong Jun lagi. Sesampai di rumahnya, ia langsung masuk dan mengunci pintunya rapat-rapat.
~o0O0o~
Hari-hari berikutnya, Kyong Jun terus mengikuti Se Kyung kemanapun Se Kyung pergi. Meskipun Se Kyung terus berusaha mengabaikannya tapi Kyong Jun sama sekali tidak menyerah.
Sampai pada suatu malam, dari kejauhan Se Kyung melihat pacarnya sedang berangkulan mesra dengan cewek lain. Meskipun sudah pernah melihatnya, tetap saja hati Se Kyung terasa sakit.
            “Nuna1, tunggu,” teriak Kyong Jun berlari menyusul Se Kyung yang terus melangkah tanpa mempedulikannya.
Ia menepuk pundak Se Kyung ketika sudah berhasil menyusulnya. Melihat Se Kyung hanya diam saja, ia memutar tubuh Se Kyung dan mengamati wajahnya. Se Kyung terus saja menunduk diam, kemudian lama kelamaan terdengar suara isak tangis dari Se Kyung yang membuat Kyong Jun bingung harus berbuat apa.
Ulijima2,” kata Kyong Jun, ia paling tidak tahan melihat cewek menangis. “Apa Nuna1 tahu? Air mata ini membuat Nuna1 kelihatan jelek. Apa Nuna nggak keberatan kalo aku berpaling kepelukan cewek lain yang lebih cantik?” kata Kyong Jun sambil menepuk-nepuk pundak Se Kyung berusaha menenangkannya.
Se Kyung tidak tahu kenapa ia bisa menangis di hadapan Kyong Jun. Selama ini, ia merasa cukup pandai dalam menyembunyikan perasaannya di hadapan orang lain. Se Kyung mengangkat wajahnya dan melihat Kyong Jun tersenyum lembut padannya. Entah kenapa melihat senyumannya membuat Se Kyung merasa lebih tenang.
Kyong Jun mengajak Se Kyung duduk di kursi panjang sebuah taman. Ia menunggu sampai Se Kyung berhenti dari isak tangisnya sebelum ia mulai bercerita.
“Apa Nuna1 tahu sejak kapan aku mulai menyukaimu?” tanya Kyong Jun yang disambut gelengan kepala dari Se kyung.
“Malam itu aku lihat Nuna1 berdiri di tepi Sungai Han. Saat itu Nunamasih memakai seragam sekolah dan tampak seperti orang depresi. Aku pikir saat itu Nunaakan bunuh diri dengan terjun ke Sungai Han. Setelah itu tanpa sadar aku terus mengikuti Nuna1. Aku takut Nuna1 berpikiran untuk bunuh diri kalo sedang sendirian, sebenarnya ada masalah apa?” tanya Kyong Jun sungguh-sungguh.
Se Kyung menceritakan semuanya pada Kyong Jun. Entah kenapa, ia merasa lebih lega setelah bercerita semuanya.
“Mulai sekarang, Nuna1 harus janji nggak bakal nangis lagi gara-gara cowok lain, kalo sampai melanggarnya aku nggak akan pernah maafin Nuna,” kata Kyong Jun pura-pura mengancam
~o0O0o~
 “Nuna1, maafin aku. Aku sama sekali nggak tahu kalo orang yang selama ini bikin Nuna sedih itu kakakku sendiri,” kata Kyong Jun menjelaskan dengan wajah bersalah.
Se Kyung hanya terdiam mendengar perkataan Kyong Jun. Memang sebenarnya Kyong Jun tidak bersalah apa-apa. Tapi untuk saat ini Se Kyung belum bisa menerima semuanya. Ia menarik nafas panjang dan pergi meninggalkan Kyong Jun tanpa sepatah kata pun terucap darinya.
~o0O0o~
            “Oppa3, kenapa kau bisa ada di sini?” tanya Se Kyung terkejut melihat Hyung Joon sudah berdiri di depan rumahnya.
“Aku ingin bertemu denganmu, kita perlu bicara” kata Hyung Joon yang kemudian mengajak Se Kyung pergi ke taman di dekat rumah Se kyung untuk bicara berdua.
Mereka berdua duduk di bangku panjang dan terdiam selama beberapa saat. Se Kyung teringat kenangan saat dulu ia sering menghabiskan waktu di tempat ini bersama Hyung Joon.
“Maaf, selama ini telah mengecewakanmu dan membuatmu sedih. Aku tahu aku telah banyak melakukan kesalahan dan aku rasa penjelasan sepanjang apapun tak akan cukup. Saat ini aku hanya ingin mengakhiri semuanya dengan benar,” kata Hyung Joon dengan ekspresi bersalah.
Se Kyung terdiam mendengarkan ucapan Hyung Joon. Jadi inilah akhir dari semuanya. Selama ini mereka berdua memang belum mengucapkan kata perpisahan. Setelah tahu kalau Hyung Joon jalan dengan cewek lain, Se Kyung selalu menghindari Hyung Joon. Ia tidak ingin hubungan mereka berakhir begitu saja, ia tak ingin cinta pertamanya berakhir seperti ini. Tapi itu justru yang membuat hati Se Kyung selalu merasa tertekan. Mungkin dengan merelakan Hyung Joon hatinya akan terasa lega.
“Semoga hidupmu jauh lebih baik setelah ini,” kata Se kyung setelah menghela nafas panjang untuk menyingkirkan himpitan di dadanya.
“Kamu cewek yang baik  Se kyung. Aku yakin kamu bisa mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik dari aku,” kata Hyung Joon sambil tersenyum memberi semangat.
“Aku tahu seharusnya aku tidak ikut campur. Aku cuma pengen bilang satu hal. Kyong Jun itu anak yang baik, dia sangat mirp dengan ibuku tapi ia begitu berbeda denganku,” kata Hyung Joon sambil tersenyum mengenang ibunya.
Se Kyung tersenyum mendengarnya. Ia menyadari Hyung Joon sedang mencoba membuatnya berbaikan dengan Kyong Jun. Ternyata sebagai kakak, Hyung Joon sangat perhatian pada adiknya.
~o0O0o~
“Aku janji akan selalu membuat Nuna1 selalu tersenyum bahagia,” kata Kyong Jun terdengar begitu bahagia setelah mendengar jika Se Kyung juga menyukainya dan mau menjadi pacarnya
Kyong Jun terus tertawa-tawa bahagia, ia memberitahu semua orang yang lewat di jalanan kalau cintanya baru saja di terima. Melihat tingkah Kyong Jun yang kekanak-kanakan membuat Se Kyung tersenyum bahagia. Begitu melihat Se Kyung tersenyum, Kyong Jun terpaku menatapnya dan membuat Se Kyung salah tingkah.
Nuna1, neomu yeppeo4,” kata Kyong Jun terpesona melihat senyuman Se Kyung yang sangat cantik.
~o0O0o~
Glosarium:
1 Kakak, panggilan pria kepada wanita yang lebih tua
2 Jangan menangis
3 Kakak, panggilan wanita pada pria yang lebih tua
4 Kakak, kamu sangat cantik


Image Source: Unknown (nemu di hardisk, liat watermark-nya aja ^^)

01 April 2014

4444

2 komentar
4444
by Halona Mio

 Hey, aku Aska, pemilik lama nomor ini. Tolong nomor ini dinonaktifkan saja. Terima Kasih.
Vero menatap SMS di layar ponselnya dengan kening berkerut. Bagaimana tidak? Baru beberapa menit ia mengaktifkan nomor barunya, nomor cantik yang di belakangnya terdapat angka 4444, SMS dari orang yang mengaku sebagai Aska masuk berbarengan dengan SMS konfirmasi registrasi dari operator seluler yang ia gunakan.
Vero coba mengecek SMS Aska, barangkali ada nomor tertera yang bisa ia hubungi. Tapi nihil. Tak buang-buang waktu untuk berpikir lebih lama, Vero memutuskan ini hanya kebetulan.
Beberapa waktu kemudian, Vero sibuk mengetik SMS mengabari teman-teman dan keluarganya kalau ia ganti nomor baru. Jujur saja, menurutnya ini pekerjaan yang paling menyebalkan. Tak kurang dari sepuluh orang membalas SMS-nya dan menanyakan alasan kenapa ia harus ganti nomor. SMS yang dengan mudah ia abaikan begitu saja karena ia benar-benar tak ingin membahasnya. Apakah mungkin dia mau pamer ke semua orang kalau alasan dia ganti nomor gara-gara diteror sama pacar cowok barunya? Nggak mungkin kan?
Vero menghela nafas panjang. Ia tak habis pikir, kenapa nasib sial selalu menimpanya. Lain kali mungkin dia akan lebih mendengar nasehat Risa, salah satu sahabat baiknya di kampus. Risa sering bilang, jangan mudah percaya sama orang yang baru dikenal, sebaik apapun dia.
Vero menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Bertekad dalam hati, mulai sekarang ia tak akan mudah percaya sama orang lain. Vero benar-benar tidak ingin diperdaya lagi oleh siapapun.
“Halo?!” Vero langsung mengangkat ponselnya begitu ada panggilan masuk.
“Aska? Kenapa nomormu baru aktif?” terdengar suara berat seorang cowok dari seberang telepon.
Vero menjauhkan ponsel dari telinganya untuk mengecek nomornya. Nomor tak dikenal.
“Maaf, ini siapa? Ini Vero, bukan Aska,” sahut Vero agak ragu.
“Ini Gio, kamu temennya Aska?”
“Bukan, aku tidak tahu siapa Aska … emm … tapi tadi dia SMS ke nomor ini,” ujar Vero begitu ingat SMS tadi.
“SMS apa? Eh… apa kita bisa ketemu? Aku pengen pastiin sesuatu,” desak Gio langsung.
“Hah? Eh… bisa…” Vero menjawab tanpa sempat berpikir panjang.
“Jam tujuh malam ini ada waktu kan? Nanti aku SMS lokasinya,” sahut Gio cepat.
“Eh…” belum sempat Vero menanggapi, panggilan sudah ditutup dari seberang telepon.
Vero mengernyitkan dahi. Bertanya-tanya dalam hati, apa ia harus datang menemui cowok yang bahkan tidak ia kenal. Dan lagi-lagi Vero tidak melihat adanya masalah, jadi dia memutuskan untuk datang.
~o0O0o~
Hey, aku Aska, pemilik lama nomor ini. Tolong nomor ini dinonaktifkan saja. Terima Kasih.
Vero mengerjapkan matanya mendengar dering ponselnya saat SMS masuk. Ia menatap layar ponselnya, mengecek waktu yang menunjukkan tepat tengah malam. Ia mendesah kesal karena lupa mengatur ponselnya dalam profil hening. Sudah sebulan berlalu sejak ia pertama kali mengaktifkan nomor barunya. SMS itu selalu masuk tiap empat jam.
Vero menguap lebar dan meregangkan tubuhnya di atas ranjang. Tiba-tiba ia merasa ingin buang air.
Saat beranjak bangun dari ranjangnnya Vero melihat sesosok bayangan gadis berwajah pucat dan berambut panjang terurai terpantul di kaca jendela kamarnya. Sosok itu menyeringai lebar kearahnya.
Vero segera menyalakan lampu kamarnya. Ia memang merinding, tapi tidak terlalu panik seperti waktu awal dia melihat sosok itu. Ya, sejak awal ia mengaktifkan nomor itu, sosok itu selalu menghantui hari-harinya.
Mungkinkah itu sosok Aska? Vero memang berpendapat demikian, begitu juga Gio. Lalu mengapa Vero masih mengaktifkan nomornya? Bukankah itu yang membuatnya dihantui?
Vero melakukannya tak lain dan tak bukan adalah demi Gio, cowok yang disukainya sejak awal mereka bertemu. Vero jatuh hati pada pembawaan Gio yang baik hati dan berkharisma. Tidak hanya itu, Gio adalah sosok kakak yang perhatian dengan adiknya, Aska.
Gio sedang mati-matian mencari Aska yang kabur dari rumah. Gio tak patah semangat untuk mencari Aska bahkan setelah mendengar dari Vero kalau Aska mungkin telah tiada, karena sosoknya mulai menghantui Vero.
            Vero berniat membantu Gio begitu melihat kesungguhannya. Mungkin mereka akan mendapat petunjuk jika nomor Aska tetap diaktifkan.
            “Ma, Mama di dalam?” Vero mengetuk pintu kamar mandi yang tertutup. Selang beberapa saat tak ada jawabn.
            “Maa…” ulangnya, kali ini lebih keras.
            Masih tak ada jawaban. Vero coba membuka pintunya tapi terkunci. Dengan enggan ia turun dengan tangga untuk memakai kamar mandi di lantai bawah.
            Saat hendak menuruni tangga, Vero mulai menyadari ada yang tidak beres. Lampu di lantai bawah masih menyala. Dengan bergegas ia mulai menapaki anak tangga.
            Begitu terkejutnya Vero saat melihat keluarganya berkumpul di sana. Ayahnya yang sepertinya baru saja menerima panggilan telepon, meletakkan telepon dengan wajah sendu menahan tangis. Ibunya dan adik perempuannya, mereka berpelukan sambil mencucurkan air mata.
            Vero mengerjapkan matanya. Merasa linglung. Ia merasa tidak benar-benar yakin dengan pemandangan di depannya. Rasanya seperti menonton televisi dengan volume dikecilkan. Vero tak dapat menangkap suara apapun. Semua terasa… hening.
            “Maa… kenapa? Ada apa?” Dengan suara serak dipenuhi kepanikan, Vero menghampiri ibunya.
            Tak ada tanggapan apapun. Vero mulai berteriak lagi sekeras-sekerasnya. Ia menarik-narik tangan ibunya, adiknya dan ayahnya, tapi tak ada yang menggubrisnya. Semua orang tengah hanyut dengan kesedihan mereka dan tak satupun menyadari keberadaan Vero.
~o0O0o~
Hey, aku Aska, pemilik lama nomor ini. Tolong nomor ini dinonaktifkan saja. Terima Kasih.
“SMS ini selalu masuk tiap empat jam, ngeri banget kan?” Vero menunjukkan SMS itu pada Gio sambil bergidik ngeri.
“Maaf ya Ver, kamu jadi harus mengalami kejadian kayak gitu,” ujar Gio menggenggam tangan Vero sambil menatapnya dengan tatapan penuh simpati.
“Ah… nggak apa-apa kok. Awalnya memang ngeri, tapi lama-lama juga…” Vero tak meneruskan kata-katanya, bahkan untuk waktu yang lama pun ia mungkin masih merasa ngeri. “Lagipula ini untuk bisa bantu temuin adik kamu,” tambah Vero saat tak menemukan kalimat lain yang tepat.
“Makasih ya Ver,” senyum Gio yang lembut langsung meluluhkan hati Vero.
“Emm… ga perlu,” Vero menarik tangannya dari genggaman Gio dan tersenyum malu-malu. Ia benar-benar salah tingkah.
“Eh… ngomong-ngomong kenapa di rumahmu tidak ada orang?” Vero berdiri dari sofa diruang tamu dan berkeliling mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rumah.
“Sebenarnya ini vila, keluargaku tidak tinggal di sini,” sahut Gio.
“Hah… lalu kenapa kamu bawa aku ke sini?”
“Tentu saja… karena kamu milikku,” sahut Gio kali ini berjalan membelakangi Vero menuju pintu depan.
“Hahh??” Vero tidak yakin dengan apa yang barusan ia dengar.
“Mulai sekarang kamu harus tinggal di sini bersama yang lain,” ujar Gio membalikkan tubuhnya berhadap-hadapan dengan Vero. Ia baru saja mengunci pintu depan.
“Apa maksudmu?” Vero mulai ngeri melihat ekspresi wajah Gio yang tidak pernah ia lihat. Senyum yang mengancam.
“Aska bukan adikku, tapi dia milikku….” Gio melangkah perlahan menghampiri Vero yang berdiri terpaku.
“4444, harusnya kamu patuhi permintaan Aska…” tambah Gio, kali ini dengan sedikit nada geli didalamnya.
“Jangan-jangan kau juga datang kesini tanpa memberitahu siapapun karena takut dilarang…” ujar Gio dengan nada penuh kemenangan.
“Selamat datang,” bisik Gio di telinga Vero.
Vero merinding. Tubuhnya yang beberapa saat lalu membeku karena ngeri dan shock, akhirnya mulai mendapatkan sensasinya. Vero segera menginjak kaki Gio dengan kencang dan lari mencari jalan keluar.
 Gio yang berdiri tepat di belakang Vero mengaduh kesakitan. Dengan kaki terpincang-pincang ia berusaha mengejar Vero.
Gio membelalak saat melihat Vero menemukan jalan keluar. Ia mengutuki dirinya karena lupa mengunci pintu belakang.
Vero benar-benar panik dan ketakutan. Ia berlari dengan kencang sampai jatuh tersandung beberapa kali. Ia terus berlari dan berlari tanpa melihat sekeliling. Sayup-sayup terdengar olehnya suara langkah kaki orang yang mengejarnya. Ia terlalu takut hanya untuk menoleh kebelakang.
Kakinya terasa lelah tapi ia merasa takut untuk berhenti. Ia tak tahu harus menuju kemana. Tak nampak satu orang pun yang bisa ia mintai tolong.
Di tengah rasa takut dan putus asa yang menyesaki ruang di dadanya tiba-tiba terdengar suara yang sangat familiar… dering ponselnya.
Vero membuka matanya. Ia langsung menyadari ia sedang menatap langit-langit di kamarnya. Ia mengambil ponselnya yang terus berdering.
Ada SMS masuk…
Hey, aku Aska, pemilik lama nomor ini. Tolong nomor ini dinonaktifkan saja. Terima Kasih.
~o0O0o~


01 Maret 2014

Cinta Tanpa Kata

2 komentar
Cinta Tanpa Kata
by Halona Mio



Kamu sangat mencintaiku. Benar kan?
Kutatap lekat kedua bola matanya yang berwarna coklat tua. Mencoba memastikan jawaban atas pertanyaan yang terus berkeliaran di benakku saat ini. Jawaban yang mulai kuragukan kebenarannya.
Atau mungkin… kamu hanya merasa kasihan padaku?
Ucapan So Hee mulai berdengung di telingaku. Apa!? Jadi dia tidak pernah mengungkapkan perasaannya? Lalu bagaimana bisa kamu begitu yakin kalau dia benar-benar mencintaimu?
 “Kamu baik-baik saja, Hye Rin-ah?”
Ucapan Min Ho membuatku tersentak. Lamunanku buyar seketika.
“Ya,” jawabku spontan.
“Kenapa menutup telingamu?”
Hah!? Apa dia bilang? Oh yang benar saja. Aku menurunkan kedua tanganku. Menunduk malu karena tindakan bodohku.
“Telingaku berdengung,” jawabku sekenanya.
“Oh…” Hening beberapa saat. “Jadi, tidak masalah kan?”
Aku mengangguk sekilas kemudian mengalihkan pandanganku ke luar jendela kaca. Tampak tumpukan salju di sepanjang jalan sekitar kafe.
“Baiklah. Kalau begitu besok kita ketemu di sana ya?” ujar Min Ho dengan penuh semangat.
“T-tunggu!? Apa maksudmu?” Aku mendongak memandanginya. Ekspresi bodohku terpantul dari kedua bola matanya.
Min Ho mengernyitkan dahinya. Merasa bingung. Tampaknya beberapa saat lalu ia mengira aku mengangguk karena sudah paham dengan ucapannya.
Ah, bodoh!! Aku salah bicara!? Aku mulai mengutuki diriku sendiri karena tidak menyimak apapun yang ia ucapkan sedari tadi.
Min Ho mendesah begitu menyadari harus mengulang semuanya dari awal. “Besok malam kita nonton teater klasik,” mau tak mau ia harus meringkas langsung ke inti permasalahnnya. “Bagaimana? Tidak masalah kan?”
Tanpa sadar aku mendesah keras. “Tentu… tidak masalah,” gumamku tak bersemangat.
Esok malamnya di luar gedung pertunjukan…
Aku mendesah. Memasukkan tanganku ke dalam saku mantel tebalku. Enggan memasuki gedung pertunjukan. “Benar-benar membosankan,” gumamku pelan. Tak ingin terdengar oleh Min Ho yang berdiri tak jauh di depanku.
Tunggu! Aku rasa dulu tempat ini tidak begitu menyebalkan. Yah… meskipun tidak menyukai acara ini tapi aku cukup menikmatinya. Tentu saja karena ada Min Ho di sisiku. Tapi, kenapa sekarang… ?
Aku menghela nafas panjang. Berusaha keras mengusir perkataan So Hee yang lagi-lagi mengusik pikiranku. Tapi kenapa selalu seperti ini? Di hari kasih sayang ini… tak ada secuil pun hal romantis yang ia lakukan untukku. Lalu apa bedanya aku dengan teman-temannya?
“Apa kamu benar-benar mencintaiku?” tanpa sadar aku menyuarakan kata-kata itu dengan cukup keras. Mungkin aku memang benar-benar sudah berada di ambang batas. Tak ada lagi tempat untuk berpegangan.
Min Ho membalikkan badannya. Tampak terkejut. Melihat wajahku, ekspresinya langsung berubah sedih. “Kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu?” ujarnya pelan. Ia tampak begitu terluka.
Tunggu! Kenapa kata-kataku justru melukainya?
“Maaf… lupakan saja!?” Aku berbalik dan berlari dengan mata setengah terpejam. Pandanganku buram oleh air mata yang menggenang di pelupuk mataku. Aku benar-benar tidak tahu apa yang merasuki otakku. Kenapa kini aku meragukannya? Dan yang lebih parah… keraguanku telah membuatnya terluka!
Brakkk!!!
Seseorang mendorongku dari belakang. Aku jatuh. Tersungkur di tepi jalan. Tampak olehku salju yang berwarna semerah darah. Kemudian pandanganku gelap.
~o0O0o~
Aku membuka mata. Dimana ini? Rumah sakit?
Tanpa perlu repot-repot memastikannya, aku memejamkan mataku lagi. Dugaanku pasti benar. Aku sudah begitu hafal dengan baunya.
Lamat-lamat terdengar suara langkah kaki beberapa orang memasuki ruangan. Aku membuka mata. Menunggu penjelasan kenapa aku bisa berada di tempat ini lagi.
“Selamat, tranplantasinya sukses…” Dr. Kang tersenyum lebar. Dr. Kang adalah dokter spesialis penyakit jantung yang selama ini merawatku.
Hah!? A-apa  yang terjadi? Sudah berapa lama aku tak sadarkan diri?
“Apakah ada orang yang mendonorkan jantungnya untukku? Benarkah?” Aku merasa lega. Dengan begini Min Ho tak perlu mencemaskanku lagi. Semuanya akan jadi lebih jelas mulai saat ini.
Tapi, lagi-lagi aku dilanda kerisauan. Bagaimana kalau dia tidak mencintaiku? Bagaimana kalau ternyata dia memang hanya merasa kasihan padaku? Seketika hatiku terasa hampa.
Seminggu berlalu…
Hatiku resah. Tak sekalipun Min Ho datang menjengukku. Setiap orang yang kukenal menolak untuk membicarakan tentangnya. Aku benar-benar tak tahu keadaannya sekarang. Ia seolah menghilang tanpa jejak.
So Hee tampak berdiam diri di sudut ruangan. Sepertinya ia menyadari rasa kalut yang tak sanggup kututupi.
 “Maaf, seharusnya aku tidak pernah mengatakan hal kejam seperti itu…” ucap So Hee penuh sesal.
Aku menatap sahabatku ini. Bingung.
“Tidak ada kata cinta apapun di dunia ini yang sanggup menggambarkan perasaan cintanya padamu…”
Dadaku terasa sesak. Kenapa? Bukankah seharusnya aku merasa bahagia mendengarnya?Tapi… kenapa aku merasakan firasat aneh?
Aku meraba dadaku, merasakan jantung baruku yang berdetak cepat. Pandanganku tak bisa lepas dari So Hee. Kenapa So Hee menangis?
Kesadaran itu dengan telak menghantamku. Bayangan wajah Min Ho melintas di benakku. Senyuman tulus merekah di wajahnya seolah berkata…
“Kuharap kau tidak akan pernah meragukannya lagi… jantungku akan selalu berdetak untukmu.”
Aku mencengkeram erat dadaku. Terbayang kembali rentetan kenangan itu. Kenapa aku begitu bodoh! Andai saja waktu bisa terulang, aku tak akan serakah. Mengharap lebih… mengharap pengakuan yang sebenarnya tak begitu berarti.
Sebenarnya… sejak awal aku sudah menyadarinya. Tanpa pengakuan pun semuanya sudah jelas…
Lelaki itu mencintaiku lebih dari apapun di dunia ini.
~o0O0o~
Image Source: Unknown (nemu di hardisk ^^)

01 Februari 2014

Miracle Valley

6 komentar
Miracle Valley
by EsideAra


 “Tunggu!” Sayup-sayup terdengar suara perempuan memanggilku dari kejauhan.
            Aku berdiri mematung. Bergeming. Kurasakan detak jantungku yang tak beraturan. Aku berusaha keras mengosongkan pikiran. Kupejamkan mata dan kutumpulkan pendengaran. Perlahan kucondongkan tubuh ke depan.
            “Aku bilang tunggu!” Suara tadi terdengar lebih jelas, dilatar-belakangi suara derap langkah kaki yang menuju ke arahku.
            Lagi-lagi aku merasa bimbang. Suara ini benar-benar mengusik pikiranku. Membuyarkan semua tekadku. Meski begitu aku tidak mau kalah. Aku mulai bersiap mencondongkan tubuh lagi ketika kurasakan seseorang menarikku dengan kuat dari belakang.
            “Tunggu! Aku ingin mati bersamamu…!”
~o0O0o~
Aku menatap sendu lelaki jangkung yang berdiri di hadapanku. Raut wajahku sengaja kubuat memelas. Namun ia diam saja. Ekspresi wajahnya pun tetap sama. Dingin dan keras kepala. Kami berdua membisu. Hanya saja kedua pasang bola mata kami terus beradu pandang untuk waktu yang terasa cukup lama.
Jika ada orang yang melihatnya, mungkin orang tersebut mengira kami berdua adalah sepasang kekasih yang sedang kasmaran. Diterangi sinar bulan purnama dan gemerlapnya cahaya bintang, tempat ini benar-benar romantis. Cocok untuk pasangan yang tengah saling jatuh cinta.
Namun sayangnya, kami berdua bukan pasangan kekasih. Boro-boro jadi sepasang kekasih, kenal saja tidak. Bertemu juga baru beberapa menit yang lalu. Itupun gara-gara hal yang bisa dibilang ajaib.
Semuanya berawal dari perjalanan nekatku ke lembah ini. Perjalanan yang sengaja kulakukan seorang diri tanpa seorangpun tahu. Sepi memang. Tapi aku tak punya pilihan lain. Aku merasa tak ada seorangpun yang memahamiku dan pastinya juga tak ada yang bersedia untuk kujadikan teman seperjalanan. Meski demikian, hati kecilku terus berdoa. Berharap akan menemukan teman di tengah perjalanan panjangku.
Ketika hari masih terang, lembah ini tampak begitu indah. Aku bahkan tak merasa begitu kesepian karena sinar mentari senantiasa mengiringiku disetiap langkah. Tapi saat hari mulai gelap, lembah ini terkesan misterius. Langit dengan kuasanya melenyapkan sinar matahari yang menemaniku sepanjang hari. Bulan purnama tampak pucat memancarkan sinar keperakan yang sesekali tampak redup tertutup awan tipis. Angin berbisik lirih diantara padang ilalang di lembah sungai. Suaranya begitu lembut hingga menimbulkan nuansa beku yang membuat bulu kudukku meremang.
            Rasanya seram juga malam-malam begini berjalan sendirian di tengah lembah yang hampir tak berpenghuni. Tapi mau kembali pun rasanya sayang. Sudah kepalang tanggung. Aku sudah menempuh perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan untuk mencapai tempat ini. Konyol rasanya jika harus kembali gara-gara takut dengan hal-hal mistis yang belum jelas keberadaannya. Apalagi sebentar lagi mungkin aku akan bergabung dengan mereka di tempat ini.
 “Tunggu!” spontan aku berteriak ketika dari kejauhan kulihat sesosok bayangan yang diterangi cahaya rembulan. Aku tidak yakin apakah itu manusia atau bukan. Tapi hatiku masih terus berharap akan menemukan teman seperjalanan. Aku memicingkan mata agar dapat melihat sosok itu lebih jelas. Jika mataku tidak salah lihat, sosok itu seorang lelaki. Dan lelaki itu sedang melakukan sesuatu yang menarik perhatianku. Membuatku merasa tidak sendirian lagi.
“Aku bilang tunggu!” Aku berusaha berteriak lagi sekeras-kerasnya berharap lelaki itu mendengarnya. Suaraku bahkan bergaung di tengah lembah. Namun lelaki itu bergeming. Aku mulai menduga dia memang sengaja menulikan pendengarannya. Tanpa pikir panjang aku berlari kearahnya. Berharap aku belum terlambat untuk mencegahnya mendahului aku.
 Aku terus berlari sekencang-kencangnya. Tak memedulikan ujung kakiku yang sakit bukan kepalang akibat terantuk batu. Tak memedulikan langkahku yang mulai terseok-seok kepayahan. Bahkan aku merasa tak perlu repot meneliti jalan terjal berbatu yang aku lalui. Mataku terus terpancang ke sosok itu, tak mau ia hilang ditelan gelapnya malam.
Hampir saja aku menyerah kalah ketika lagi-lagi lelaki itu mencondongkan tubuhnya. Namun detik berikutnya aku merasa harus terus berpacu dalam langkahku. Lelaki itu tak menunjukkan pergerakan baru. Nampaknya ia mulai bimbang. Inilah kesempatanku untuk menggapainya. Kupercepat laju lariku.
            “Tunggu! Aku ingin mati bersamamu!” Aku mengerahkan segenap tenagaku dan menarik tubuhnya dengan kuat. Ingin menjauhkan tubuhnya dari tepian tebing. Namun tentu saja usahaku tak membuahkan hasil. Tubuhnya jauh lebih kekar dibandingkan aku. Saat ini aku bahkan tak tampak seperti sedang mencoba menariknya kebelakang. Mungkin yang terjadi sekarang, justru seperti aku yang sedang memeluknya dari belakang.
Aku merasakan tubuh lelaki itu tersentak. Mungkin ia terkejut mendapat serangan tak terduga di tengah malam seperti ini. Ia menoleh ke arah punggungnya. Ketempat aku berada. Tubuhku serasa lunglai begitu ia menatap mataku. Tatapannya begitu dingin dan hampa.
Aku jatuh terduduk di tanah. Kami hanya terdiam. Saling bertatapan mata.
~o0O0o~
            “Apa maumu?” Seuntai suara yang hanya terdengar seperti bisikan akhirnya keluar dari tenggorokanku.
            Raut wajah gadis itu tampak memelas. Awalnya aku pikir dia hantu. Tapi sepertinya bukan. Jika memang gadis ini hantu, harusnya dia punya paras yang cantik rupawan. Atau seharusnya jika jelek, jelek sekalian. Tapi tidak dengan gadis ini. Wajahnya biasa saja. Dan aku rasa tidak ada hantu yang mukanya biasa saja.
            “Aku ingin mati bersamamu,” sahutnya menatap lurus ke arah mataku. Sepertinya dia tidak main-main dengan ucapannya barusan. Hanya saja aku tidak paham apa yang dia maksud. Aku bahkan tak mengenalnya, kenapa ia ingin mati bersamaku. Kukira tadinya ia hanya ingin mencegahku melompat.
            “Jangan bercanda,” sergahku sambil menyeringai. Bahkan di telingaku sendiri, suaraku terdengar begitu sinis.
            Gadis itu menggigit bibir bawahnya dan menunduk ke tanah. Sepertinya ia sedang menahan tangis. Aku menyesal kenapa harus berkata sinis kepadanya. Tapi meski demikian, aku juga tidak dapat meralat kata-kata yang terlanjur keluar dari mulutku.
            “Dengar ya, aku tidak paham lelucon macam apa yang sedang kamu mainkan. Tapi apa kamu benar-benar paham kata-kata yang kamu ucap barusan?”
            “Aku tidak bercanda,” sela gadis itu dengan diiringi isak tangis.
Benar-benar cengeng. Ataukah aku yang tampak begitu menakutkan di matanya hingga ia menangis seperti itu?
            “Aku benar-benar ingin mati,” tambahnya di sela isak tangis. “Menurutmu untuk apa seorang gadis sepertiku datang kesini sendirian malam-malam begini?”          Aku memandangi gadis ini dengan tatapan tak percaya. Penjelasannya tadi terasa semakin membingungkan saja. Kalau mau mati, mati saja. Untuk apa dia justru mencegahku mati duluan. Apa dia ingin aku jadi penonton yang menyaksikannya terjun ke jurang? Atau dia ingin aku yang mendorongnya jatuh ke jurang?
            “Kenapa kau ingin mati bersamaku?” tanyaku kali ini berusaha lebih lembut agar tak menyinggung perasaannya.
            Dia terdiam sejenak, lagi-lagi menggigit bibir bawahnya. Sepertinya ragu ingin mengatakan sesuatu. Mungkin sesuatu yang terdengar memalukan jika diungkapkan. Ekspresi wajahnya menunjukkan demikian.
            “Aku takut mati sendirian.”
~o0O0o~
Sikap dinginnya perlahan meleleh. Matanya mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan ketika dia bertanya banyak hal padaku. Kadang ia nampak kesal dengan jawabanku. Kadang ia menatapku seolah aku ini makhluk aneh. Tapi itu masih lebih baik daripada tatapan dingin dan hampa yang ia tunjukkan sebelumnya. Jujur, aku benar-benar merasa takut.
“Aku tahu tempat ini dari sebuah situs di internet…”
Aku mulai menceritakan awal mula kedatanganku ke tempat ini. Air mataku kini telah mengering. Itu membuatku bisa bercerita dengan lebih leluasa.
“Saat itu aku benar-benar putus asa. Aku ingin segera pergi meninggalkan dunia yang keji ini. Hanya saja… aku berpikir untuk melakukannya di tempat yang indah. Aku mengetikkan keyword “tempat terindah untuk mati” di Google. Mungkin terdengar konyol. Awalnya aku tak menyangka akan mendapat jawaban dari internet. Aku sangat tekejut ketika menemukan ternyata memang ada tempat seperti itu… di sini,” aku mengarahkan jari telunjukku ke tanah kosong tepat di hadapanku.
“Ajaib bukan?” tambahku. “Mungkin di luar sana ada orang yang berpikiran sama denganku. Itu membuatku merasa tidak sendirian lagi.”
Aku menoleh ke arah lelaki itu. Ia tak memandang ke arahku tapi aku tahu dia mendengarkan ceritaku. “Bagaimana denganmu?”
“Aku hanya berjalan. Aku terus berjalan dan ketika aku sadar aku sudah berada di tempat ini,” ujarnya tanpa emosi. Aku merasa lagi-lagi ia hanyut dalam pikirannya sendiri.
“Kau tahu. Mungkin kedengarannya konyol aku berkata seperti ini. Tapi jika ada orang yang masih membutuhkanmu, kau tidak boleh meninggalkannya begitu saja. Dia akan merasa sangat sedih dengan kepergianmu.”
Ia menoleh ke arahku. Lagi-lagi dengan tatapan sinisnya. Kelihatannya usia kami sebaya dan bahkan mungkin ia lebih tua dari aku. Jadi wajar saja ia tidak terima dengan perkataanku yang terkesan menggurui. Apalagi dengan kondisiku sekarang yang tak jauh berbeda dengannya.
“Kau berkata demikian, seolah-olah kau orang yang paling berhak untuk mati. Sementara orang lain tidak berhak untuk itu,” sergahnya sinis.
“Kau benar. Aku merasa berhak untuk mati.”
~o0O0o~
            “Mengapa kau bisa berpikir seperti itu?” tanyaku tak sabar. Mengapa ia merasa yakin berhak untuk mati. Aku yakin penderitaan yang dialaminya tak sebanding dengan apa yang aku rasakan.
“Aku tinggal sebatang kara. Tak ada satupun keluarga, kerabat, bahkan aku tak punya teman untuk mendengar keluh kesahku,” ujarnya dengan pilu.
            Kurasakan dorongan untuk membelai kepalanya dan membuatnya merasa nyaman. Aku hanya ingin ia tahu bahwa ia tak sendirian. Tapi aku urungkan niatku. Aku tahu tak boleh terbawa suasana. Itu hanya akan memperkeruh keadaan. Kuputuskan untuk diam menanti dia melanjutkan ceritanya.
            “Setahun lalu, aku beserta keluargaku mengalami kecelakaan tragis. Tak ada satupun anggota keluargaku yang selamat, kecuali aku. Ketika tersadar dari koma, aku tinggal sebatang kara. Tak ada siapapun orang yang aku kenal. Dunia ini terasa begitu berbeda.”
Ia menghela nafas panjang. Tatapannya menerawang dan ia pun mulai terisak lagi.
            “Aku mulai masuk sekolah dengan harapan bisa bertemu dengan teman-teman yang kurindukan. Sayangnya aku terlambat menyadari sesuatu, aku duduk di kelas 3 dan aku mengalami koma hampir setahun. Itu artinya teman-teman lamaku sudah lulus dan aku harus mengulang setahun bersama adik kelasku. Aku merasa bagai orang yang terlempar ke dunia asing. Tak ada seorangpun yang aku kenal. Bahkan aku merasa semua orang mengucilkanku. Rasanya benar-benar sepi terhanyut dalam kesendirianku. Jika boleh memilih… aku akan memilih untuk terus tertidur dan tak pernah terbangun lagi.”
Aku memandangnya tajam. Kurasa dia tidak berhak berkata seperti itu.
“Kamu ini masih muda. Masa depan masih membentang luas. Tidak seharusnya kamu berkata seperti itu. Jika kamu tidak punya teman, maka kamu bisa mencarinya mulai dari sekarang,” ujarku panjang lebar. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku berkata seperti ini. Tidak tepat rasanya jika aku yang mengatakannya.
“Bagaimana denganmu?” tuntutnya.
Aku terdiam sejenak. Sebenarnya enggan untuk menceritakan masalahku tapi itu akan terasa tidak adil baginya.
“Hidup tidak pernah berpihak padaku. Aku selalu berusaha keras untuk mencapai sesuatu, tapi semua jerih payahku seakan sia-sia.”
~o0O0o~
Aku menatapnya tajam. Merasa tidak puas dengan penjelasan yang ia berikan. Ia menghela nafas sebelum melanjutkan.
“Sejak kecil aku tidak pernah mendapatkan apapun yang aku inginkan. Aku punya seorang kakak lelaki. Kami kembar tapi dia lebih sempurna, mulai dari sikap, bakat dan kecerdasan semuanya lebih unggul dariku. Dia benar-benar beruntung. Kasih sayang kedua orang tuaku seolah tercurah hanya untuk dirinya. Aku bahkan merasa yakin mereka lupa punya anak lelaki lain. Aku sangat bodoh dan tidak berbakat. Sekeras apapun aku berusaha tak pernah ada hasilnya.”
Seolah penjelasannya tadi belum cukup, ia terus melanjutkan. “Barang yang aku inginkan selalu dengan mudah didapatkan kakakku. Gadis yang aku cintai ternyata mencintai kakakku. Sahabat yang aku banggakan lebih berpihak pada kakakku. Bahkan Universitas yang ingin aku masuki untuk membanggakan kedua orang tuaku, dengan mudah di masuki kakakku. Sementara aku terdepak, tertinggal di belakang tanpa seorang pun yang menyadari. Aku selalu bertanya-tanya untuk apa sebenarnya aku dilahirkan ke dunia ini. Semua alasanku untuk hidup seolah telah terhisap oleh lubang hitam yang dimiliki kakakku.”
Hatiku terasa pedih ketika ia menatapku dengan sorot mata itu. Sorot mata yang seolah ingin menyatakan pada dunia bahwa ia tak bersalah… bahwa ia tak tahu apa sebenarnya kesalahannya hingga mendapat perlakuan tidak adil dalam hidupnya.
“Jika boleh memilih… aku memilih untuk tidak pernah dilahirkan.”
Aku menatapnya tajam. Kurasa sama persis dengan tatapan yang ia lontarkan tadi. Dan sekarang aku tahu apa alasan dia melontarkan tatapan itu padaku. Aku merasa dia tidak berhak berkata seperti itu.
“Jika kau tak pernah dilahirkan, maka aku tak akan pernah bertemu denganmu. Aku tak akan sebimbang ini memutuskan apakah aku berhak untuk mati atau tidak!?” jeritku dalam tangis yang histeris. Aku tak tahu kenapa. Tiba-tiba saja aku merasa takut kehilangan. Aku takut ditinggalkan sendirian lagi.
“Kumohon. Jangan berpikir seperti itu!” jeritku lagi.
Aku membenamkan wajahku diantara kedua telapak tanganku. Air mataku terus bercucuran tak mau berhenti.
~o0O0o~
Aku menatap gadis di hadapanku dengan bingung. Hatiku tersentuh melihatnya menangis. Seolah ia menangis mewakili seluruh kegundahan yang ada di dalam hatiku. Ini untuk pertama kalinya ada seseorang yang menangis untukku. Untuk pertama kalinya juga, aku melihat seorang gadis menangis di hadapanku. Hingga aku merasa bingung, tak tahu harus berbuat apa untuk menenangkannya.
Kali ini aku tak berusaha menekan dorongan dalam hati. Aku mendekati gadis itu dan memeluknya. Ia menangis semakin keras di bahuku. Untuk beberapa saat aku terdiam, membiarkannya menumpahkan semua tangis dan perasaannya di bahuku.
“Sama halnya denganku. Jika kau tidak pernah bangun dari tidurmu. Maka aku tak akan pernah bertemu gadis yang membuatku sadar untuk apa sebenarnya tujuanku dilahirkan,” bisikku dengan lembut di telinganya ketika ia mulai tenang.
Ia tak menjawab. Masih terdengar sesenggukan sesekali.
“Mungkin tujuanku dilahirkan dan tujuanmu bangun dari tidur panjangmu adalah untuk menyongsong hari ini. Hari bersejarah dimana kita bertemu dan memutuskan apakah kita berhak untuk mati,” ujarku sambil tersenyum kecil, mengingat betapa ironisnya kisah pertemuan kami.
“Atau memutuskan apakah kita berhak untuk hidup,” tambahnya sambil mendongakkan wajah menatapku, matanya melebar dan ia tersenyum kecil.
Aku baru menyadari mata gadis ini sangat indah, tampak begitu bening dan bercahaya. Saat ia tersenyum muncul lesung pipi kecil di sudut-sudut bibirnya. Senyumnya menular dan membuatku ingin ikut tersenyum bersamanya. Gadis di hadapanku ini tiba-tiba saja menjelma menjadi gadis yang sangat cantik di mataku. Tampak rapuh dan mempesona di saat yang bersamaan. Membuatku ingin terus berada disampingnya dan menjaganya. Selamanya.
~o0O0o~
Aku mendongak menatap lelaki yang tengah memelukku erat. Tatapan mata bekunya telah meleleh. Raut wajah kakunya telah melembut. Ia tersenyum hangat saat membalas senyumku. Entah kenapa aku tak ingin lepas dari pelukannya. Lelaki yang tadinya terasa begitu dingin dan sinis kini menjelma menjadi lelaki yang hangat dan lembut. Membuatku ingin terus berada di sampingnya, menangis dan tertawa untuknya. Selamanya.
Kami berdua sepakat. Tak ada satupun yang berhak untuk memutuskan siapa yang berhak untuk hidup ataupun mati.
Kami pun akhirnya menyadari. Jalan hidup kami telah digariskan. Satu-satunya hal yang berhak kami lakukan adalah menyusuri jalan yang telah digariskan itu.

~o0O0o~

Image Source: Unknown (nemu di hardisk ^^)

 

Mio's Garden Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template